SMANTEB.ID – Hari ini 56 tahun yang lalu, Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI) yang memakan sejumlah korban Jenderal TNI AD terjadi pada tahun 1965.
Mereka yang menjadi korban dalam peristiwa memilukan ini adalah Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Walikota Jenderal Raden Soeprapto, Walikota Jenderal Mas Tistodarmo Haryono, Walikota Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo, Lettu Pierre Andreas Tendean.
PKI beralasan, para jenderal itu akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno melalui Dewan Jenderal.,
Kronologi peristiwa G30S/PKI
Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Letkol (Inf) Untung Samsoeri menuju Lubang Buaya untuk inspeksi pada 1 Oktober 1965. Dini hari itu, Komandan memimpin upaya kudeta yang akan mengubah garis sejarah.
Kudeta yang awalnya diberi nama Operasi Takari itu diubah saat akhir menjadi Gerakan 30 September agar tidak berbau militer.
Kata Untung, Ketua Komite Pusat Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit memerintahkan agar pelaksanaannya ditunda menjadi 1 Oktober sampai pasukan siap dan lengkap.
Menjelang pelaksanaan, nama Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta dicoret dari sasaran. Tujuannya, untuk mewujudkan kudeta sebagai konflik internal.
Untung membagi eksekutor ke dalam tiga satuan tugas.
Satgas Pasopati pimpinan Letnan I (Inf) Abdul Arief dari Resimen Tjakrabirawa menyimpan tujuh jenderal yang jadi sasaran.
Satgas Bimasakti dipimpin Kapten (Inf) Soeradi Prawirohardjo dari Batalyon 530/Brawijaya, simpan ibu kota dan menguasai kantor Pusat Telekomunikasi dan Studio RRI Pusat.
Penculikan berubah jadi serangan berdarah
Terakhir, satgas Pringgodani di bawah kendali Mayor (Udara) Soejono, bertugas menjaga basis dan wilayah di sekeliling Lubang Buaya, yang rencananya akan jadi lokasi penyanderaan para jenderal.
Usai memeriksa kesiapan di Lubang Buaya, Untung bersama bawahannya Kolonel (Inf) Latief, bergerak ke Gedung Biro Perusahaan Negara Aerial Survey (Penas) di Jalan Jakarta By Pass (kini Jalan Jend. A Yani), Jakarta Timur.
Sehari-hari, gedung itu disewa Angkatan Udara (AURI). Namun di malam senyap itu, Soejono menyiapkan Gedung Penas sebagai Central Komando (Cenko) I untuk memantau jalannya operasi penangkapan para jenderal.
Julius Pour mencatat, operasi penculikan di bawah Untung direncanakan secara serampangan. Banyak yang akan dilibatkan, tak jadi datang.
Jumlah pasukan kurang dari 100 personel, jauh dari yang diharapkan mampu memantik revolusi. Selanjutnya, apa yang dikhawatirkan Untung pun terjadi. Penculikan berubah jadi serangan berdarah.
Pukul 03.30, anggota Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Sersan Kepala Bungkus mengingat pasukannya yang terakhir diberangkatkan dari Lubang Buaya.
Ia khawatir, alokasi 15 sampai 20 menit untuk meluncurkan penculikan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani, tak akan cukup.
“Saya sendiri berpikir kok hanya 20 menit, peluangnya pasti singkat sekali? Meski begitu saya tidak lupa. Perintahnya jelas, saya mendengar langsung dari Letnan I Abdul Arief, ‘…tangkap sasaran, hidup atau mati’,” kata Bungkus.
Cerita Nasution selamat dari penculikan PKI
Sesampai di kediaman Yani di Jalan Lembang, Menteng, Jakata Pusat, Bungkus dan rekan-rekannya segera meminta Yani ikut dengan alasan akan dibawa ke hadapan presiden.
Yani pun meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Bungkus dan rekan-rekannya menolak permintaan itu dan marah.
Yani menampar salah satu prajurit dan mencoba menutup pintu rumahnya. Salah satu prajurit melepaskan tembakan, dan mengenai Yani hingga membunuhnya.
Masih di kawasan Menteng, tepatnya di Jalan Teuku Umar, Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution tak bisa tidur nyenyak.
Menjelang pukul 04.00, mereka terbangun oleh suara kendaraan dan bunyi tembakan. Pintu rumah dibuka paksa. Johana (istri AH Nasution) segera mengecek apa yang gerangan terjadi. Tak lama, Johana kembali ke kamar dan mengunci pintu sambil berbisik, “…ada Tjakrabirawa, kamu jangan keluar.”
Ade Irma yang terbangun memeluk kaki ibunya. Nasution tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia pun membuka pintu untuk memastikan kendati sudah ditahan istrinya.
“Saya tetap membuka pintu kamar tidur. Di depan pintu, dalam jarak satu setengah meter, tampak seorang prajurit Tjakrabirawa yang langsung melepaskan tembakan. Otomatis pintu saya tutup dan segera tiarap,” kata Nasution.
Mendengar kegaduhan, adik Nasution, Mardiah, terbangun. Ia berusaha menyelamatkan Ade Irma dengan menggendongnya ke kamar lain.
Namun karena gugup, Mardiah salah membuka pintu. Mardiah yang menggendong Ade Irma disambut rentetan tembakan.
Nahas, peluru yang ditembak mengenai punggung Ade Irma Suryani. Pintu pun langsung ditutup Johana dan menggendong tubuh Ade Irma Suryani yang bersimpah darah.
Setelah hari menjelang pagi, Ade Irma dibawa ke RSPAD untuk mendapatkan pertolongan. Ade Irma sempat menjalani operasi beberapa kali.
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Ade Irma Suryani meninggal dunia.
Sementara itu, Nasution sendiri berhasil menyelamatkan diri dengan memanjat tembok belakang.
Pendudukan RRI
Memasuki fajar, seluruh pasukan G30S kembali ke Lubang Buaya.
Wakil Komandan Satgas Pringgodani Mayor (Udara) Gatot Soekrisno kebingungan ketika para prajurit menurunkan empat orang yang terikat dan ditutup matanya, serta tiga mayat.
Padahal, mereka sedianya akan dihadapkan kepada Soekarno.
“Saya segera menghubungi Mayor (Udara) Soejono, Komandan Satgas Pringgidani di Cenko I, minta petunjuk, bagaimana menangani kondisi baru yang menyimpang dari skenario awal tersebut,” kata Gatot.
Rentetan peristiwa itu kemudian berlanjut dengan pendudukan kantor berita Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Gerakan 30 September.
6 Oktober 1965 mencatat, orang-orang yang terlibat dalam gerakan itu mengenakan baret dan sapu tangan hijau di sekeliling leher.
Mereka kemudian melakukan siaran gelap dan menyatakan membentuk Dewan Revolusi Indonesia. Kabinet Dwikora yang dibentuk Bung Karno juga dinyatakan demisioner oleh mereka.
Mereka juga mengumumkan penangkapan sekelompok orang yang disebut Dewan Jenderal. Mereka berdalih, langkah itu dilakukan untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari apa yang mereka sebut Dewan Jenderal.
Dewan Jenderal, menurut mereka, merupakan gerakan subversif dan disponsori oleh CIA dan bermaksud menggulingkan pemerintahan Soekarno.
Namun, pendudukan RRI itu hanya bertahan kurang dari sehari, karena sekitar jam 7 sore pasukan RPKAD mengambil alih RRI. Beberapa tertangkap namun ada juga yang kabur.
Lalu pada 1 Oktober 2021 pukul 21.00, RRI Jakarta sudah mulai mengumandangkan lagi suara resmi pemerintahan RI. Sepenuhnya ibu kota di tangan ABRI dan orang-orang dalam kelompok G30S menjadi buronan.