Penulis: Eko Prayitno
Kepala SMAN 1 Tebing Tinggi Kab. Balangan.
Dalam konteks wilayah daerah, dikotomi antara sekolah kota yang serba online dengan sekolah pinggiran belum bisa dihilangkan sampai saat ini terutama di Kalimantan Selatan. Sekolah kota identik mempunyai fasilitas yang “wah” terutama dalam pembelajaran dunia maya. Mereka dapat mengakses berbagai informasi , berita atau pun mengunduh materi pembelajaran kapanpun dan dimanapun. Hal sebaliknya bagi sekolah pinggiran yang hanya mengandalkan fasilitas seadanya belum lagi dengan kualitas pengajarnya yang masih memakai metode mengajar “abad ke 19”. Lengkaplah sudah “penderitaan pelajar sekolah pinggiran”.
Wajar jika banyak dari masyarakat yang dari kalangan mampu memilih memasukkan anaknya ke sekolah kota, apalagi sekolah tersebut punya embel-embel akreditasi A. Akan tetapi hal ini menjadi tidak sehat apabila gejala ini dibiarkan berlarut sehingga menjadi ketimpangan pendidikan yaitu antara sekolah kota dan sekolah pinggiran atau istilah sekolah maju dan “sekolah buangan”. Pertanyaanya adalah sampai kapan pendidikan kita akan seperti ini?
Menjadi peserta didik di sekolah pinggiran tentu bukan impian anak yang mana hal ini semata karena masyarakat dalam hal ini orang tua hanya mampu menyekolahkan disana dan tidak mampu menyekolahkan anaknya ke kota karena keterbatasan ekonomi dan melemahnya daya beli masyarakat akibat keadaan ekonomi nasional yang tidak stabil sampai detik ini.
Kalimantan Selatan mempunyai ratusan sekolah mulai dari tingkat dasar sampai dengan menengah yang tersebar di 13 Kabupaten. Sekolah-sekolah tersebut sebagian belum mendapat akses internet. Hal ini membuat pihak sekolah harus keluar area sekolah dan menuju daerah yang terdapat sinyal seluler. Hal ini dapat dibuktikan jika kita melihat kondisi masyarakat di sekitar pegunungan Meratus.
Hal ini kontras dengan fakta bahwa pengguna internet secara nasional meningkat tajam sebagaimana dilansir PUSKAKOM UI menyatakan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2015 sudah mencapai 88,1 juta dan wilayah Kalimantan dengan jumlah pengguna internet sebanyak 4,2 juta, khusus wilayah Kalimantan Selatan sebanyak 1,2 juta pengguna. Data ini jauh bila dilihat dari pengguna internet di Sumatra yang berjumlah 18,6 juta sulawesi memiliki 7,3 juta, Jawa Bali 52,0 juta dan Nusa Tenggara, Papua dan Maluku sebanyak 5,9 juta. Jawa Barat menjadi Provinsi dengan pengguna terbanyak yaitu 16,4 juta. Ini berbanding lurus dengan prestasi guru, sebagaimana diketahui Juara Guru SMA berprestasi tingkat Nasional tahun 2015 berasal dari provinsi tersebut.
Internet bagi sekolah sudah menjadi urat nadi sekolah, sebagaimana diketahui bahwa semua administrasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS), addministrasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, bantuan sekolah dan tunjangan guru kesemuanya dilakukan secara daring (online). Belum lagi jika guru hendak memperkenalkan pembelajaran berbasis internet atau IT tentu akan menemui kendala yang besar.
Banyak ditemui para administrator sekolah harus menempuh jarak berpuluh kilometer untuk mendapatkan layanan internet. Mereka rela demi “hidup dan mati” sekolah tergantung pada bagaimana administrator mengelola data secara online dan dapat dikirim ke server Kemendikbud.
Pemerintah memberikan kurikulum dan konsep yang bagus yang tentu saja harus disertai kemampuan warganya untuk mendapatkan kebaikan tersebut, salah satunya dengan menggunakan inernet. Bagaimana kita hendak menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang selalu digaungkan para stakeholder negeri ini jika internet saja mereka belum begitu mengenalnya, bahkan komputer pun belum akrab di tangan mereka.
Hal ini hendaknya segera disikapi dengan cara sebagai berikut pertama, membuat rencana strategis dari pemerintah pusat dalam pengembangan internet untuk pendidikan dengan menganggarkan dana yang cukup dari 20% Dana Pendidikan Nasional. Hendaknya juga pemerintah melibatkan BUMN sehingga tercapai target dana jika internet untuk sekolah dianggap memerlukan dana besar dan membebani APBN.
Kedua, Pemerintah memberikan aturan tertulis untuk “memaksa” Kepala Daerah untuk memberikan layanan internet gratis untuk semua sekolah yang dapat di ambil dari dana APBD. Sehingga mau tidak mau semua Kepala Daerah akan berusaha keras untuk berkordinasi kepada banyak pihak demi keterssediaan internet bagi pendidikan berapapun harganya.
Ketiga, Pemerintah daerah hendaknya menjalin komunikasi yang intens antara Dinas terkait seperti Dinas Perhubungan, Dinas Pembangunan Umum dan provider penyedia jasa layanan internet terkait dengan pembangunan tower-tower BTS (Base Transceiver Station) sehingga satu Kecamatan minimal mempunyai satu BTS berjaringan minimal 3G sehingga memungkinkan unit pendidikan saling berkirim data.
Dengan melakukan usaha maksimal yang dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak swasta, kesenjangan pendidikan antara Sekolah Kota dengan Sekolah Pinggiran akan segera berakhir karena tidak ada lagi sekat yang memisahkan antara pelajar kota dengan pelajar pinggiran, semua mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi putera-puteri terbaik Indonesia. Kiranya bukan saatnya lagi Pemerintah mengeluh dengan alasan keterbatasan dana jika hal ini semata untuk kepentingan anak bangsa. Semoga!